Selasa, 28 Desember 2010

Sungai Di Belakang Rumah

Sungai yang ada di kampung kami memang tidak sehebat sungai Bengawan Solo yang begitu romantis sehingga menjadi sebuah lagu, atau sebesar sungai Amazon, atau bahkan sesuci sungai Gangga. Apalagi kalau dibandingkan dengan sungai sungai di eropa yang keelokkannya layak diabadikan pada gambar gambar di kalender, sangat jauh sekali. Janganlah diharapkan cerita romantis mengenai sungai kecil dari kampung kami ini.

Bagi sebagian orang di belahan bumi ini, sungai sangat penting untuk kehidupan. Namun bagi kami yang orang kampung ini sederhana saja, sungai adalah tempat menerjunbebaskan material yang tidak diperlukan lagi.

Sungai kecil ini berada persis di belakang rumahku, kira kira 10 meter dari dapurku. Lebarnya sekitar 6 meter. Di bagian tengah kedalaman airnya bisa mencapai 2 meter. Airnya jernih dan banyak ikannya. Anak anak dapat bebas belajar berenang dengan nyaman. Tapi itu dulu. Ketika zaman masih enak dan air belum susut. Sekarang bibir sungai telah membentuk tebing sekitar semeter tingginya dari permukaan air. Kalau orang di kampungku sekarang ditanya tentang berapa dalamnya air sungai itu mereka hanya bisa menebak saja.

“Sepinggang.”
Begitu pendapat rata rata dari mereka. Entah tinggi pinggang siapa pula yang mereka jadikan patokan dan biasanya tidak ada peduli.

Tidak ada ceritanya kampung kami banjir atau memakan korban nyawa karena ulah sungai itu. Karena hampir setiap hari banyak bangkai tikus dan sampah kami lemparkan sebagai sajen. Selain sebagai pembatas kampung, sungai itu bisa juga dianggap sebagai lambang identitas kampung kami.

“Kampung anu yang di pinggir sungai anu itu ya?!!", kalimat biasa yang kami dapat ketika kami menyebutkan dimana kami tinggal.

Sejak keberadaan pabrik pabrik di bagian hulu, air sungai menjadi lebih kental, gelap dan agak berbau. Kekentalannya menyebabkan sampah tidak terhanyutkan dengan cepat. Tak tega rasanya membiarkan tubuh tersentuh air sungai. Begitu sangat meragukannya kondisi air di sungai itu sehingga pernah ada mencoba tabah ketika menceburkan diri ke tengah sungai, berakhir dengan gatal gatal di sekujur tubuhnya.

Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, bertambah pula jumlah jamban terapung di pinggiran sungai di kampungku. Bilik yang berbentuk kotak dengan bagian depan berfungsi sebagai pintu dan ketiga sisi lainnya terbuat dari anyaman bambu atau lembaran triplek, hanya bagian atas dan bawah yang terbuka. Bangunan ini dipancang di atas 4 tiang bambu pada sisi sungai. Di bagian dalamnya terdapat dua bilah kayu atau bambu sebagai tempat berpijak yang memfasilitasi proses buang hajat penduduk. Yang kelihatan dari luar hanyalah sebatas telinga keatas, dan itu sudah cukup untuk penanda bahwa satu bilik jamban sedang digunakan.

Lurah Madi dulu pernah berupaya agar lingkungan kampung tidak selalu mendapat sorotan di kantor kecamatan karena kejorokannya. Tudingan tidak becus menertibkan wilayah kekuasaannya yang dianggap tidak beradab mau tak mau membuatnya gerah. Kelurahan lalu mengeluarkan aturan pelarangan adanya jamban jamban terapung dan tindakan tegas bagi yang membuang sampah ke sungai. Jamban jamban yang ada dibongkar secara paksa. Untuk beberapa waktu hilanglah kegemaran penduduk untuk nongkrong di pinggir sungai. Tindakan yang sangat tidak populer itu mengakibatkan pada pemilihan lurah periode berikutnya Kotak Kosong yang menjadi lawan Lurah Madi unggul secara mutlak.

Lurah Dibyo merupakan penggemar ritual jongkok di pinggir sungai sebagaimana warganya. Pada pemilihan Lurah kemarin ia unggul telak dari Kang Surip. Padahal berdasarkan kalkulasi politik kelas kampung, Kang Surip jelas akan unggul dibanding Sudibyo. Kang Surip berasal dari keluarga baik baik, priyayi kaya yang terpandang dan cukup disegani warga. Sudibyo yang cuma tamatan STM Pertanian itu, kalah kualitas dan kuantitas dana dibandingkan Kang Surip. Pada pemilihan itu kondisi Sudibyo diperparah lagi dengan adanya penyakit yang dideritanya. Entah kenapa tiba tiba Sudibyo seperti terkena diare. Penyakit yang menyebabkan ia menjadi sangat rajin ke jamban. Yang namanya diare, tentu keinginan buang hajatnya tidak dapat dikendalikan. Ia harus selalu berada dekat sekitar jamban, sehari bisa berkali kali dengan waktu yang tidak bisa diatur. Selama pemilihan lurah kemarin, tidak ada jamban di kampungku yang tidak pernah ditongkrongi Sudibyo. Penyakit diare dan
jamban terapung, dua hal inilah yang menyebabkan terpilihnya Lurah Dibyo mematahkan segala kalkulasi sebelumnya.

Tempatnya teduh dan agak terlindung dari jalanan umum, tempat dekat pohon waru di pinggir kampung menjadi tempat favorit penduduk. Di antara sekian tempat yang paling menjadi incaran adalah dekat kebon pisang. Menurut cerita, ketika zaman SDSB dulu Kang Marjuno sering tembus angkanya kalo ngelamun malam di sana. Awalnya hanya berdiri satu jamban, akhirnya sudah lima jamban terapung berjejer disana sejak dikabarkan bahwa Lik Warijan dapat ‘togel’ berkat kesana. Tempatnya cukup teduh karena sebagian terlindung daun pisang dari panasnya terik matahari di siang hari. Walau tempatnya agak menyeramkan, jauh dari rumah penduduk dan nyamuknya luar biasa banyaknya dibanding tempat lain, para tokoh kampung tetap rela berlama lama menjadi pelanggan setia tempat itu.

Hujan merupakan rahmat bagi alam. Membebaskan sungai kesayangan kampungku dari masalahnya. Derasnya aliran air menyapu ke arah hilir semua sampah dan kotoran lainnya yang tertumpuk ketika musim kemarau. Sungai menjadi lebih bersih dan lebih nyaman untuk menerjunbebaskan sampah dan kotoran baru. Kelima jamban terapung ini semakin menunjukkan kecermelangannya ketika badai musim hujan tahun lalu. Hujan deras seakan tak pernah berhenti selama hampir seminggu menyebabkan arus sungai membesar menerjang segala yang merintanginya. Hampir semua jamban terapung di bibir sungai kampung kami lenyap diterjang dan terseret arus sungai menuju hilir. Hampir semua, hampir. Kecuali, kelima jamban terapung dekat pohon waru itu. Dari sanalah terbukti akan kesaktian dan kekeramatan jamban jamban itu.

Banyak hal yang bisa dijadikan bahan perbincangan atau perdebatan dalam arena perjongkokan disana. Mulai dari masalah keamanan kampung, gosip terbaru tentang janda muda di dekat mesjid, taruhan bola, bahkan sampai sumpah serapah terhadap kenaikan BBM. Bahkan Lik Kamso sebagai orang yang sadar betul akan pentingnya informasi akan merasa ketinggalan kalau tidak pernah atau jarang jongkok ke dekat pohon waru. Selepas Isya, kebelet atau tidak, sudah menjadi suatu rutinitas untuk nongkrong disana. Seember air sumur dan beberapa batang rokok menjadi bekal yang menambah kesiapan dan kepercayaan dirinya melangkah untuk menunaikan hajat. Jika musim hujan telah datang biasanya bekalnya bertambah dengan sebuah payung.

Umumnya pengikut ritual berlama lama di jamban adalah kaum bapak, para suami. Sebagaimana hukum di dunia ini setiap wilayah atau tempat tentu ada penguasanya. Demikian juga jamban dekat pohon waru itu. Lik Gimo, Kang Pailul, Lik Warijan, Kang Darno dan Kang Marjuno adalah lima dedengkot yang kami daulat sebagai penguasa tempat itu. Hampir dipastikan bahwa tiap malam selalu lengkap bertahta disana. Biasanya sesudah Isya mereka hadir di sana. Mereka adalah tokoh yang meramaikan perbincangan dalam dunia perjongkokan.

Seingatku sudah lama mereka akrab berlima, memiliki kebiasaan yang sama. Nongkrong selepas isya. Badan masih belum capek, mata belum ngantuk terlalu sore untuk tidur. Acara televisi tidak ada yang menarik. Remote control televisi dikuasai oleh istri tanpa bisa diganggu gugat. Tempatnya enak, nyaman dan yang paling penting agak jauh dari rumah. Sebagai suami yang lapang dada dan lapang telinga, perasaan senasib mempersatukan mereka. Di arena pernongkrongan, mereka menemukan kebebasan mereka kembali. Di tempat seperti ini tidak ada beban telinga memikul ocehan seluas angkasa mendengar cerewetnya sang istri. Kalo sudah nongkrong tidak mungkin cuma sekedar nongkrong dengan manis dan ngobrol.

Lima orang ini memiliki kelebihan yang sama, masing masing punya kemampuan sebagai pembicara. Banyak bahan obrolan yang bisa mengikat orang orang untuk tetap bertahan mendengarkan. Kami senang dengan bualan mereka. Ada ada saja yang bisa mereka perbincangkan. Tak jarang terjadi perdebatan seru diantara mereka. Sebagai para tokoh, sukses terbesar mereka adalah ketika ikut berperan dalam penggulingan Lurah Madi dari jabatannya. Bulan, bintang, sungai dan pohon waru serta jamban jamban menjadi saksi bagaimana prestasi itu direncanakan dengan matang pada malam malam di tempat itu.

Itu dulu. Dulu sebelum sungai sungai mulai dangkal. Dulu sebelum terjadi penggusuran di areal tanah yang tanpa sertifikat dan kemudian menjadi milik pemerintah. Dulu, sebelum dibangunnya apartemen mewah di sekitar daerah itu. Dulu sebelum negara ini masih milik inlander.